Makalah Fisika Modern : Teorema Eqipartisi

| Selasa, 23 Juni 2015


BAB I
PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG
Teori kinetika merupakan suatu teori yang secara garis besar adalah hasil kerja dari Count Rumford (1753-1814), James Joule (1818-1889), dan James Clerk Maxwell (1831-1875), yang menjelaskan sifat-sifat zat berdasarkan gerak acak terus menerus dari molekul-molekulnya. Dalam gas misalnya, tekanan gas adalah berkaitan dengan tumbukan yang tak henti-hentinya dari molekul-molekul gas terhadap dinding-dinding wadahnya.
Gas adalah materi yang encer. Sifat ini disebabkan interaksi yang lemah antara partikel-partikel penyusunnya sehingga perilaku termalnya relatif sederhana. Dalam mempelajari perilaku tersebut, kita akan mengembangkan pengrtian yang jelas antara sifat-sifat makroskopik seperti suhu, tekanan, dan volume dari sifat-sifat mikroskopik seperti kelajuan, energi kinetik, momentum, dan massa tiap-tiap partikel penyusun materi. Sifat makroskopik adalah sifat dari besaran-besaran yang dapat diukur dengan alat ukur, sedang sifat mikroskopik adalah sifat yang tidak dapat diukur secara langsung. Besaran yang menyatakan sifat Makroskopis dan Mikroskopis Gas.
Gas ideal tidak ada dalam kehidupan sehari-hari, yang ada cuma gas riil alias gas nyata. Gas ideal hanya bentuk sempurna yang sengaja dibuat untuk membantu analisis kita, mirip seperti benda tegar dan fluida ideal. Jadi, kita menganggap hukum Boyle, hukum Charles dan hukum Gay-Lussac berlaku untuk semua kondisi gas ideal. Adanya model gas ideal ini juga sangat membantu kita dalam meninjau hubungan antara ketiga hukum gas di atas. Dengan kata lain, model gas ideal membantu kita meninjau hubungan antara besaran-besaran makroskopis gas. Hubungan antara besaran-besaran makroskopis gas telah diulas dalam pembahasan mengenai hukum-hukum Gas dan hukum Gas Ideal.








1.2   RUMUSAN MASALAH

1.   Apa yang dimaksud teorema ekipartisi energi?
2.  Apa yang dimaksud derajat kebebasan dalam teorema ekipartisi energi?
3.  Apa yang dimaksud gas monoatomik dan diatomik dan hubungannya dengan derajat kebebasan?
4.  Bagaimana membedakan energi dalam gas ideal yang bersifat monoatomik dan diatomik?
5.  Bagaimana rumus energi kinetik rata-rata jika dalam teorema ekipartisi energi?



1.3   TUJUAN
1.     Untuk bisa membedakan molekul monoatomik dan diatomik beserta derajat kebebasannya.
2.      Untuk mengetahui perbedaan gerak molekul gas monoatomik dan diatomik.
3.      Untuk mengetahui cara mencari nilai energi dalam gas.
4.      Untuk mengetahui cara mencari nilai energi dalam gas berdasarkan energi kinetik dan derajat kebebasan.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1   LANDASAN TEORI
Dalam mekanika statistika klasik, Teorema Ekuipartisi adalah sebuah rumusan umum yang merelasikan temperatur suatu sistem dengan energi rata-ratanya. Teorema ini juga dikenal sebagai hukum ekuipartisi, ekuipartisi energi, ataupun hanya ekuipartisi. Gagasan dasar teorema ekuipartisi adalah bahwa dalam keadaan kesetimbangan termal, energi akan terdistribusikan secara merata ke semua bentuk-bentuk energi yang berbeda; contohnya energi kinetik rata-rata per derajat kebebasan pada gerak translasi sebuah molekul haruslah sama dengan gerak rotasinya.
Teorema ekuipartisi mampu memberikan prediksi-prediksi yang kuantitatif. Seperti pada teorema virial, teorema ekuipartisi dapat memberikan hasil perhitungan energi kinetik dan energi potensial rata-rata total suatu sistem pada satu temperatur tertentu, yang darinya kapasitas kalor sistem dapat dihitung. Namun, teorema ekuipartisi juga memberikan nilai rata-rata komponen individual energi tersebut, misalnya energi kinetik suatu partikel ataupun energi potensial suatu dawai. Contohnya, teorema ini dapat memberikan prediksi bahwa setiap molekul dalam suatu gas ideal monoatomik memiliki energi kinetik rata-rata sebesar (3/2)kBT dalam kesetimbangan termal, dengan kB adalah tetapan Boltzmann dan T adalah temperatur. Secara umum, teorema ini dapat diterapkan ke semua sistem-sistem fisika klasik yang berada dalam kesetimbangan termal tak peduli seberapa rumitnya sekalipun sistem tersebut. Teorema ekuipartisi dapat digunakan untuk menurunkan hukum gas ideal dan hukum Dulong-Petit untuk kapasitas kalor jenis benda padat. Teorema ini juga dapat digunakan untuk memprediksi sifat dan ciri bintang-bintang, bahkan berlaku juga untuk katai putih dan bintang neutron, karena teorema ini berlaku pula ketika efek-efek relativitas diperhitungkan.
Walaupun teorema ekuipartisi memberikan prediksi yang sangat akurat pada kondisi-kondisi tertentu, teorema ini menjadi tidak akurat ketika efek-efek kuantum menjadi signifikan, misalnya pada temperatur yang sangat rendah. Ketika energi termal kBT lebih kecil daripada perjarakan energi kuantum pada suatu derajat kebebasan, energi rata-rata dan kapasitas kalor dari derajat kebebasan ini akan lebih kecil daripada nilai energi yang diprediksi oleh teorema ekuipartisi. Derajat kebebasan ini dikatakan menjadi "beku" ketika energi termal lebih kecil daripada perjarakan energi kuantum ini. Contohnya, kapasitas kalor suatu benda padat akan menurun pada temperatur rendah seiring dengan membekunya berbagai jenis gerak yang dimungkinkan. Hal ini berlawanan dengan prediksi teorema ekuipartisi yang memprediksikan nilai kapasitas kalor yang konstan. Fenomena menurunnya kapasitas kalor ini memberikan tanda awal bagi para fisikawan abad ke-19 bahwa fisika klasik tidaklah benar dan diperlukan model ilmiah baru yang lebih akurat dalam menjelaskan fenomena ini. Selain itu, teorema ekuipartisi juga gagal dalam memodelkan radiasi benda hitam (juga dikenal sebagai bencana ultraviolet). Hal ini mendorong Max Planck untuk mencetuskan gagasan bahwa energi yang dipancarkan oleh suatu objek terpancarkan dalam bentuk terkuantisasi. Hipotesis revolusioner ini kemudian memacu perkembangan mekanika kuantum dan teori medan kuantum.
2.1  Perumusan Umum Teorema Ekuipartisi
Bentuk paling umum teorema ekuipartisi menyatakan bahwa di bawah asumsi tertentu, pada suatu sistem fisik yang berfungsi energi Hamiltonian H dan berderajat kebebasan x, persamaan ekuipartisi berikut akan berlaku pada kesetimbangan termal untuk semua indeks m dan n:
\!
\Bigl\langle x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \Bigr\rangle = \delta_{mn} k_{B} T.
δmn disini merupakan delta Kronecker, yang nilainya sama dengan satu apabila m = n atau nol apabila sebaliknya. Tanda kurung pererataan \left\langle \ldots \right\rangle diasumsikan sebagai rerata ensembel atas ruang fase ataupun, di bawah asumsi ergodisitas, sebagai rata-rata waktu suatu sistem tunggal.
Teorema ekuipartisi umum ini berlaku baik pada ensembel mikrokanonis, yakni ketika energi total sistemnya adalah konstan, maupun pada ensembel kanonis, yakni ketika sistemnya tersambung kepada penangas kalor yang dapat bertukar energi.
Rumusan umum di atas setara dengan dua rumus berikut :
  1. \Bigl\langle x_{n} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \Bigr\rangle = k_{B} T \quad \mbox{untuk semua } n

  1. \Bigl\langle x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \Bigr\rangle = 0 \quad \mbox{untuk semua } m \neq n.
Apabila derajat kebebasan xn hanya memiliki suku kuadratis anxn2 pada Hamiltonian H, maka rumus pertama di atas mengimplikasikan :
k_{B} T = \Bigl\langle x_{n} \frac{\partial H}{\partial x_{n}}\Bigr\rangle = 2\langle a_n x_n^2 \rangle,
yang nilainya dua kali lebih besar daripada kontribusi yang diberikan oleh derajat kebebasan ini terhadap energi rata-rata \langle H\rangle. Sehingga teorema ekuipartisi untuk sistem yang memiliki energi kuadratis akan mudah diturunkan dari rumus umum di atas. Dengan argumen yang sama, apabila 2 digantikan dengan s, rumus di atas berlaku untuk energi bentuk anxns. Derajat kebebasan xn adalah koordinat-koordinat dalam ruang sistem dan umumnya dibagi lagi ke dalam koordinat posisi rampatan gk dan koordinat momentum rampatan pk, dengan pk adalah momentum konjugat terhadap qk. Pada situasi ini, rumus pertama di atas berarti bahwa untuk semua k,
\Bigl\langle p_{k} \frac{\partial H}{\partial p_{k}} \Bigr\rangle =  \Bigl\langle q_{k} \frac{\partial H}{\partial q_{k}} \Bigr\rangle = k_{\rm B} T.
Menggunakan persamaan mekanika Hamiltonian, rumus ini dapat juga ditulis sebagai berikut :
\Bigl\langle p_{k} \frac{dq_{k}}{dt} \Bigr\rangle = -\Bigl\langle q_{k} \frac{dp_{k}}{dt} \Bigr\rangle = k_{\rm B} T.
Dengan cara yang sama, menggunakan rumus kedua
\Bigl\langle q_{j} \frac{\partial H}{\partial p_{k}} \Bigr\rangle = \Bigl\langle p_{j} \frac{\partial H}{\partial q_{k}} \Bigr\rangle = 0 
\quad \mbox{ untuk semua } \, j,k
                  Dimana,    \Bigl\langle q_{j} \frac{\partial H}{\partial q_{k}} \Bigr\rangle = 
\Bigl\langle p_{j} \frac{\partial H}{\partial p_{k}} \Bigr\rangle = 0 \quad \mbox{ untuk semua } \, j \neq k.

2.2  Hubungan dengan Teorema Virial
Teorema ekuipartisi umum adalah perpanjangan dari teorema virial (yang diajukan pada tahun 1870), yang menyatakan bahwa :
\Bigl\langle \sum_{k} q_{k} \frac{\partial H}{\partial q_{k}} \Bigr\rangle = 
\Bigl\langle \sum_{k} p_{k} \frac{\partial H}{\partial p_{k}} \Bigr\rangle = 
\Bigl\langle \sum_{k} p_{k} \frac{dq_{k}}{dt} \Bigr\rangle = -\Bigl\langle \sum_{k} q_{k} \frac{dp_{k}}{dt} \Bigr\rangle,
dengan t adalah waktu. Perbedaan antara kedua teorema ini adalah teorema virial menghubungkan penjumlahan rata-rata energi total terhadap satu sama lainnya daripada rata-rata energi individual pada teorema ekuipartisi. Teorema virial juga tidak menghubungkan penjumlahan energi ini terhadap temperatur T. Selain itu, penurunan teorema virial biasanya diekspresikan sebagai rata-rata energi terhadap waktu, sedangkan pada teorema ekuipartisi, penurunannya diekspresikan sebagai rata-rata energi terhadap ruang fase.

2.3  Penerapan Teorema Ekuipartisi
1.    Hukum Gas Ideal
Teorema ekuipartisi dapat diterapkan untuk menurunkan rumus gas ideal. Berawal dari persamaan :
\begin{align}
\langle H^{\mathrm{kin}} \rangle &= \frac{1}{2m} \langle p_{x}^{2} + p_{y}^{2} + p_{z}^{2} \rangle\\
&=  \frac{1}{2} \biggl(
\Bigl\langle p_{x} \frac{\partial H^{\mathrm{kin}}}{\partial p_{x}} \Bigr\rangle + 
\Bigl\langle p_{y} \frac{\partial H^{\mathrm{kin}}}{\partial p_{y}} \Bigr\rangle +
\Bigl\langle p_{z} \frac{\partial H^{\mathrm{kin}}}{\partial p_{z}} \Bigr\rangle \biggr) = 
\frac{3}{2} k_{B} T
\end{align}
untuk menghitung rata-rata energi kinetik per partikel. Teorema ekuipartisi dapat digunakan untuk menurunkan hukum gas ideal dari mekanika klasik. Jika q = (qx, qy, qz) dan p = (px, py, pz) menandakan vektor letak dan momentum partikel gas, dan F adalah resultan gaya pada partikel, maka :
\begin{align}
\langle \mathbf{q} \cdot \mathbf{F} \rangle &= \Bigl\langle q_{x} \frac{dp_{x}}{dt} \Bigr\rangle + 
\Bigl\langle q_{y} \frac{dp_{y}}{dt} \Bigr\rangle + 
\Bigl\langle q_{z} \frac{dp_{z}}{dt} \Bigr\rangle\\
&=-\Bigl\langle q_{x} \frac{\partial H}{\partial q_x} \Bigr\rangle -
\Bigl\langle q_{y} \frac{\partial H}{\partial q_y} \Bigr\rangle - 
\Bigl\langle q_{z} \frac{\partial H}{\partial q_z} \Bigr\rangle = -3k_{B} T,
\end{align}
dimana kesamaan pertama adalah hukum kedua Newton, dan kesamaan kedua menggunakan persamaan Hamilton dan rumus ekuipartisi. Dengan mentotalkan seluruh sistem yang berpartikel N akan menghasilkan:
3Nk_{B} T = - \biggl\langle \sum_{k=1}^{N} \mathbf{q}_{k} \cdot \mathbf{F}_{k} \biggr\rangle.

Energi kinetik partikel tertentu dapat saja berfluktuasi dengan bebas, namun teorema ekuipartisi memungkinkan kita untuk menghitung energi rata-rata keseluruhan partikel dalam sistem pada temperatur apapun. Teorema ini juga dapat digunakan untuk menurunkan hukum gas ideal yang menghubungkan tekanan gas dengan volume dan temperaturnya. (Lima partikel yang berwarna merah di atas digunakan untuk membantu pemantauan gerak partikel tersebut.)
Menurut hukum ketiga Newton dan asumsi bahwa gas berperilaku ideal, resultan gaya yang bekerja pada suatu sistem bergas ideal akan bermuasal dari gaya yang diterapkan oleh dinding penampung gas. Gaya ini kemudian bermanifestasi sebagai tekanan gas P. Sehingga :
-\biggl\langle\sum_{k=1}^{N} \mathbf{q}_{k} \cdot \mathbf{F}_{k}\biggr\rangle = P \oint_{\mathrm{permukaan}} \mathbf{q} \cdot \mathbf{dS},
dengan dS adalah luas infinitesimal permukaan dinding penampung. Oleh karena divergensi vektor letak q adalah ;
\boldsymbol\nabla \cdot \mathbf{q} =
\frac{\partial q_{x}}{\partial q_{x}} + 
\frac{\partial q_{y}}{\partial q_{y}} + 
\frac{\partial q_{z}}{\partial q_{z}} = 3,
maka menutur teorema divergensi :
P \oint_{\mathrm{permukaan}} \mathbf{q} \cdot \mathbf{dS} = P \int_{\mathrm{volume}} \left( \boldsymbol\nabla \cdot \mathbf{q} \right) dV = 3PV,
dengan dV adalah volume infinitesimal penampung dan V adalah total volume penampunga.
Dengan menggabungkan kedua persamaan ini akan didapatkan :
3Nk_{B} T = -\biggl\langle \sum_{k=1}^{N} \mathbf{q}_{k} \cdot \mathbf{F}_{k} \biggr\rangle = 3PV,
yang secara langsung memberikan persamaan gas ideal berpartikel N :
PV = Nk_{B} T = nRT,\,
dengan n = N/NA adalah jumlah mol gas dan R = NAkB adalah tetapan gas. Walaupun teorema ekuipartisi memberikan contoh penurunan hukum gas ideal yang simpel, hasil yang sama juga dapat diturunkan menggunakan metode alternatif seperti fungsi partisi.

2.    Gas Diatomik
Sebuah partikel gas diatomik dapat dimodelkan sebagai dua massa m1 dan m2 yang dihubungkan oleh pegas dengan konstanta Hooke a. Pemodelan ini disebut sebagai Pendekatan Rotor Tegar Osilator Harmonik. Sistem ini akan memiliki energi sebesar :
H = 
\frac{\left| \mathbf{p}_{1} \right|^{2}}{2m_{1}} + 
\frac{\left| \mathbf{p}_{2} \right|^{2}}{2m_{2}} + 
\frac{1}{2} a q^{2},
dengan p1 dan p2 adalah momentum dua atom dan q adalah deviasi jarak antar dua atom pada kesetimbangannya. Tiap derajat kebebasan energi ini bersifat kuadratik dan sehingganya haruslah berkontribusi sebesar 12kBT terhadap energi rata-rata total dan 12kB terhadap kapasitas kalornya. Sehingga kapasitas kalor gas bermolekul diatomik sebanyak N akan diprediksikan bernilai sebesar 7N·12kB (momentum p1 dan p2 masing-masing berkontribusi sebanyak tiga derajat kebebasan dan q berkontribusi satu derajat kebebasan). Selanjutnya pula, kapasitas kalor satu mol molekul diatomik akan memiliki (7/2)NAkB = (7/2)R dan sehingganya kapasitas kalor molarnya haruslah kira-kira 7 cal/(mol·K). Namun nilai kapasitas kalor molar yang didapatkan dari hasil percobaan biasanya berkisar sebesar 5 cal/(mol·K) dan menurun menjadi 3 cal/(mol·K) pada temperatur yang sangat rendah.
Ketidakcocokan antara hasil prediksi berdasarkan teorema ekuipartisi dengan nilai hasil percobaan ini tidak dapat dijelaskan menggunakan model molekul yang lebih kompleks oleh karena dengan menambahkan lebih banyak derajat kebebasan hanya akan meningkatkan kalor jenis yang diprediksi. Ketidakcocokan ini kemudian menjadi bukti nyata diperlukannya perlakuan teori kuantum untuk menyelesaikan masalah ini.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c9/Chandra-crab.jpg/300px-Chandra-crab.jpg

Citra gabungan sinar-X dan optik Nebula Kepiting. Di tengah inti nebula ini terdapat bintang neutron yang berotasi dengan cepat. Bintang ini bermassa satu setengah kali lebih besar daripada Matahari namun hanya berukuran 25 Km. Teorema ekuipartisi dapat digunakan untuk memprediksikan sifat-sifat bintang neutron seperti ini.

3.    Gas ideal pada kondisi relativistik ekstrem
Teorema ekuipartisi yang digunakan di atas untuk menurunkan hukum gas ideal berdasarkan mekanika Newton klasik tidak dapat digunakan apabila efek-efek relativitas menjadi dominan dalam sistem yang dikaji, seperti misalnya katai putih dan bintang neutron. Oleh karenanya persamaan gas ideal harus dimodifikasi. Teorema ekuipartisi memungkinkan kita untuk dengan mudah menurunkan hukum gas ideal yang berlaku pada kondisi relativistik ekstrem. Pada kasus ini, energi kinetik suatu partikel tunggal adalah sebesar :
H_{\mathrm{kin}} \approx cp = c \sqrt{p_{x}^{2} + p_{y}^{2} + p_{z}^{2}}.
Dengan menurunkan H terhadap px akan menghasilkan rumus :
p_{x} \frac{\partial H_{\mathrm{kin}}}{\partial p_{x}}  = c \frac{p_{x}^{2}}{\sqrt{p_{x}^{2} + p_{y}^{2} + p_{z}^{2}}}
Penurunan yang sama terhadap py dan pz akan menghasilkan rumus yang sama dan dengan menambahkan ketiganya akan menghasilkan
\begin{align}
\langle H_{\mathrm{kin}} \rangle
&= \biggl\langle c \frac{p_{x}^{2} + p_{y}^{2} + p_{z}^{2}}{\sqrt{p_{x}^{2} + p_{y}^{2} + p_{z}^{2}}}  \biggr\rangle\\
&= \Bigl\langle p_{x} \frac{\partial H^{\mathrm{kin}}}{\partial p_{x}} \Bigr\rangle + 
\Bigl\langle p_{y} \frac{\partial H^{\mathrm{kin}}}{\partial p_{y}} \Bigr\rangle + 
\Bigl\langle p_{z} \frac{\partial H^{\mathrm{kin}}}{\partial p_{z}} \Bigr\rangle\\
&= 3 k_{B} T
\end{align}
dengan kesamaan terakhir mengikuti rumus ekuipartisi. Sehingganya energi total rata-rata pada sistem gas relativistik ekstrem adalah dua kali lebih besar daripada energi total rata-rata gas non-relativistik. Untuk gas relativistik berpartikel N, nilai energinya adalah 3 NkBT.

4.    Gas Non-Ideal
Dalam kasus gas ideal, partikel-partikel gas diasumsikan hanya berinteraksi secara tumbukan. Teorema ekuipartisi dapat pula digunakan untuk menurunkan energi dan tekanan "gas non-ideal" yang partikel-partikelnya dapat berinteraksi melalui gaya-gaya konservatif yang potensial U(r)-nya bergantung hanya pada jarak r antar partikel. Ini dapat dideskripsikan secara sederhana dengan pertama-tama menyempitkan fokus kita pada satu partikel tunggal gas dan melakukan pendekatan pada gas-gas lainnya menggunakan distribusi simetri bola. Kemudian, dengan menggunakan fungsi distribusi radial g(r) sehingganya rapatan probabilitas menemukan partikel lainnya dalam ruang lingkup r dari suatu partikel adalah sama dengan 4πr2ρg(r), dengan ρ = N/V adalah rapatan rata-rata atau massa jenis rata-rata gas. Energi potensial rata-rata kemudian berhubungan dengan interaksi partikel tunggal tersebut dengan gas lainnya dan secara matematis diekspresikan sebagai berikut :
\langle h_{\mathrm{pot}} \rangle = \int_{0}^{\infty} 4\pi r^{2} \rho U(r) g(r)\, dr.
Energi potensial rata-rata total gas oleh karenanya adalah  \langle H_{pot} \rangle = \tfrac12 N \langle h_{\mathrm{pot}} \rangle , dengan N adalah jumlah partikel dalam gas dan faktor 12 diperlukan karena penjumlahan keseluruhan partikel akan membuat interaksi antar partikel yang diperhitungkan dihitung dua kali. Dengan menambahkan energi kinetik dan potensial, dan menerapakn teorema ekuipartisi, kita akan mendapatkan persamaan energy :
H = 
\langle H_{\mathrm{kin}} \rangle + \langle H_{\mathrm{pot}} \rangle = 
\frac{3}{2} Nk_{B}T + 2\pi N \rho \int_{0}^{\infty} r^{2} U(r) g(r) \, dr.
Dengan cara yang sama, kita juga dapat menurunkan persamaan tekanan sebagai
3Nk_{\rm B}T = 3PV + 2\pi N \rho \int_{0}^{\infty} r^{3} U'(r) g(r)\, dr.

5.    Osilator Anharmonik
Osilator anharmonik (berbeda dengan osilator harmonik sederhana) memiliki energi potensial yang bukan kuadratis pada ekstensi q (posisi umum yang mengukur penyimpangan sistem dari kesetimbangan). Osilator seperti ini dapat memberikan kita gambaran komplementer terhadap teorema ekuipartisi. Contoh-contoh yang sederhana dapat diberikan menggunakan fungsi energi potensial berbentuk :
H_{\mathrm{pot}} = C q^{s},\,
dengan C dan s adalah tetapan bilangan real sembarang. Dalam hal ini, hukum ekuipartisi memprediksi bahwa :
k_{\rm B} T = \Bigl\langle q \frac{\partial H_{\mathrm{pot}}}{\partial q} \Bigr\rangle = 
\langle q \cdot s C q^{s-1} \rangle = \langle s C q^{s} \rangle = s \langle H_{\mathrm{pot}} \rangle.
Sehingga, energi potensial rata-rata sama dengan kBT/s, dan bukannya kBT/2 seperti yang ada pada osilator harmonik kuadratis (s = 2).
Lebih umumnya, suatu fungsi energi berdimensi satu memiliki ekpansi Taylor pada ekstensi q:
H_{\mathrm{pot}} = \sum_{n=2}^{\infty} C_{n} q^{n}
untuk bilangan integer non-negatif n. Ketiadaan suku n = 1 dikarenakan ketiadaan gaya resultan sehingga turunan pertama energinya adalah nol. Suku n = 0 tidak perlu dimasukkan karena energi pada posisi kesetimbangan secara konvensi ditentukan sebagai nol. Dalam kasus ini, hukum ekuipartisi memprediksi bahwa :
k_{B} T = \Bigl\langle q \frac{\partial H_{\mathrm{pot}}}{\partial q} \Bigr\rangle = 
\sum_{n=2}^{\infty} \langle q \cdot n C_{n} q^{n-1} \rangle = 
\sum_{n=2}^{\infty} n C_{n} \langle q^{n} \rangle.
Berlawanan dengan contoh-contoh lainnya, rumus ekuipartisi
\langle H_{\mathrm{pot}} \rangle = \frac{1}{2} k_{\rm B} T - 
\sum_{n=3}^{\infty} \left( \frac{n - 2}{2} \right) C_{n} \langle q^{n} \rangle
tidak mengijinkan energi potensial rata-rata ditulis dalam tetapan-tetapan yang diketahui.

6.    Gerak Brown
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f8/Wiener_process_3d.png/400px-Wiener_process_3d.png
Gambar.  Gerak Brown tipikal suatu partikel dalam tiga dimensi.
Teorema ekuipartisi dapat digunakan untuk menurunkan gerak Brown suatu partikel dari persamaan Langevin. Menurut persamaan Langevin, gerak suatu partikel bermassa m dan berkecepatan v ditentukan oleh hukum Newton kedua :
\frac{d\mathbf{v}}{dt} = \frac{1}{m} \mathbf{F} = -\frac{\mathbf{v}}{\tau} + \frac{1}{m} \mathbf{F}_{\mathrm{rnd}},
dengan F'rnd adalah gaya acak yang mewakili osilasi acak partikel dan molekul-molekul disekitarnya; tetapan waktu τ mewakili gaya seret yang melawan gerak partikel dalam larutan. Gaya seret sering ditulis sebagai Fdrag = −γv; sehingga tetapan waktu τ sama dengan m/γ.
Perkalian bintik (skalar) dari persamaan ini dengan vektor posisi r, setelah dirata-ratakan akan menghasilkan persamaan
\Bigl\langle \mathbf{r} \cdot \frac{d\mathbf{v}}{dt} \Bigr\rangle + 
\frac{1}{\tau} \langle \mathbf{r} \cdot \mathbf{v} \rangle = 0
untuk gerak Brown (dikarenakan gaya acak Frnd tidak berkorelasi dengan posisi r). Dengan menggunakan identitas matematika :
\frac{d}{dt} \left( \mathbf{r} \cdot \mathbf{r} \right) = 
\frac{d}{dt} \left( r^{2} \right) = 2 \left( \mathbf{r} \cdot \mathbf{v} \right)
dan
\frac{d}{dt} \left( \mathbf{r} \cdot \mathbf{v} \right) = v^{2} + \mathbf{r} \cdot \frac{d\mathbf{v}}{dt},
persamaan dasar gerak Brown dapat ditransformasikan menjadi :
\frac{d^{2}}{dt^{2}} \langle r^{2} \rangle + \frac{1}{\tau} \frac{d}{dt} \langle r^{2} \rangle = 
2 \langle v^{2} \rangle = \frac{6}{m} k_{\rm B} T,
dengan kesamaan terakhir mengikuti teorema ekuipartisi untuk energi kintetik translasional:
\langle H_{\mathrm{kin}} \rangle = \Bigl\langle \frac{p^{2}}{2m} \Bigr\rangle = \langle \tfrac{1}{2} m v^{2} \rangle = \tfrac{3}{2} k_{\rm B} T.
Persamaan diferensial di atas untuk \langle r^2\rangle(dengan kondisi-kondisi awal yang sesuai) dapat diselesaikan secara eksak:
\langle r^{2} \rangle = \frac{6k_{\rm B} T \tau^{2}}{m} \left( e^{-t/\tau} - 1 + \frac{t}{\tau} \right).
Dalam skala waktu yang singkat, t << τ, partikel berperilaku sebagai partikel yang bergerak bebas: berdasarkan deret Taylor fungsi eksponensial, jarak kuadrat bertambah kira-kira kuadratis:
\langle r^{2} \rangle \approx \frac{3k_{\rm B} T}{m} t^{2} = \langle v^{2} \rangle t^{2}.
Namun dalam skala waktu yang panjang, t >> τ, suku konstan dan eksponensialnya menjadi dapat diabaikan, sehingga jarak kuadrat bertambah hanya secara linear:
\langle r^{2} \rangle \approx \frac{6k_{B} T\tau}{m} t = \frac{6 k_{B} T t}{\gamma}.
Hal ini menjelaskan difusi partikel seiring dengan berjalannya waktu.

7.   Fisika Bintang
Teorema ekuipartisi dan teorema virial yang berkaitan dengannya telah lama digunakan dalam bidang astrofisika. Sebagai contohnya, teorema virial dapat digunakan untuk memperkirakan temperatur bintang atau limit Chandrasekhar massa katai putih. Temperatur rata-rata suatu bintang dapat diperkirakan dari teorema ekuipartisi. Karena kebanyakan bintang bersimetri bulat, total energi potensial gravitasionalnya dapat diperkirakan menggunakan pengintegralan :
H_{\mathrm{grav}} = -\int_0^R \frac{4\pi r^2 G}{r} M(r)\, \rho(r)\, dr,
dengan M(r) adalah massa beradius r dan ρ(r) adalah kepadatan bintang pada jari-jari r; G mewakili tetapan gravitasi dan R adalah jari-jari total bintang. Dengan mengasumsikan bahwa kepadatan bintang konstan di segala jari-jari, pengintegralan ini menghasilkan rumus
H_{\mathrm{grav}} = - \frac{3G M^{2}}{5R},
dengan M adalah massa total bintang. Sehingganya energi potensial rata-rata partikel tunggal adalah
\langle H_{\mathrm{grav}} \rangle = \frac{H_{\mathrm{grav}}}{N} = - \frac{3G M^{2}}{5RN},
dengan N adalah jumlah partikel dalam bintang. Dikarenakan bintang-bintang pada umumnya mayoritas terdiri dari hidrogen, N secara kasar sama dengan M/mp, dengan mp adalah massa satu proton. Penerapan teorema ekuipartisi ini memberikan nilai perkiraan temperatur bintang
\Bigl\langle r \frac{\partial H_{\mathrm{grav}}}{\partial r} \Bigr\rangle = \langle -H_{\mathrm{grav}} \rangle = 
k_B T = \frac{3G M^2}{5RN}.
Dengan mansubstitusikan massa dan radius Matahari akan kita dapatkan temperatur surya kira-kira T = 14 juta kelvin, sangat dekat dengan temperatur inti 15 juta kelvin. Namun, Matahari lebih kompleks daripada model asumsi yang kita pakai. Baik temperatur dan kepadatannya bervariasi tergantung pada jari-jarinya, sehingga nilai yang cukup sesuai yang didapatkan di atas (7% galat relatif) sebagiannya hanya disebabkan oleh keberuntungan saja.

8.   Pembentukan Bintang
Rumus yang sama dapat diterapkan untuk menentukan kondisi-kondisi pembentukan bintang dalam awan molekul raksasa. Fluktuasi lokal dalam rapatan awan tersebut dapat menyebabkan kondisi tak terkontrol dan cepat di mana awan tersebut runtuh karena gravitasinya sendiri. Keruntuhan seperti itu terjadi ketika teorema ekuipartisi ataupun teorem virial tidak lagi berlaku, yakni ketika energi potensial gravitasionalnya melebih dua kali energi kinetik.
\frac{3G M^{2}}{5R} > 3 N k_{B} T.
Dengan berasumsi bahwa kepadatan awan ρ :
M = \frac{4}{3} \pi R^{3} \rho
menghasilkan massa minimum yang diperlukan untuk kontraksi bintang, massa Jeans MJ :
M_{\rm J}^{2} = \left( \frac{5k_{B}T}{G m_{p}} \right)^{3} \left( \frac{3}{4\pi \rho} \right).
Dengan mensubstitusikan nilai-nilai yang pada umumnya terpantau pada awan tersebut (T = 150 K, ρ = 2×1016 g/cm3) kita dapatkan massa minimum perkiraan sebesar 17 massa surya, yang konsisten dengan pembentukan bintang terpantau. Efek ini dikenal juga sebagai instabilitas Jeans, dinamakan setelah fisikawan Britania James Hopwood Jeans yang mempublikasikannya pada tahun 1902.

2.4  Turunan
Energi Kinetik dan Distribusi Maxwell–Boltzmann
Perumusan awal teorema ekuipartisi menyatakan bahwa, dalam segala sistem fisik apapun yang berada dalam kesetimbangan termal, setiap partikelnya memiliki energi kinetik rata-rata yang persis sama (eksak), (3/2)kBT. Hal ini dapat ditunjukkan menggunakan distribusi Maxwell–Boltzmann, yang merupakan distribusi probabilitas :
f (v) = 4 \pi 
\left( \frac{m}{2 \pi k_{\rm B} T}\right)^{3/2}\!\!v^2
\exp \Bigl(
\frac{-mv^2}{2k_{\rm B} T}
\Bigr)
untuk kecepatan partikel bermassa m dalam sistem, di mana kecepatan v adalah magnitudo\sqrt{v_x^2 + v_y^2 + v_z^2}  dari kecepatan vektor \mathbf{v} = (v_x,v_y,v_z).
Distribusi Maxwell–Boltzmann berlaku untuk segala sistem yang terdiri dari atom, dan mengasumsikan hanya ensembel kanonis, secara spesifiknya, bahwa energi kinetik terdistribusi menurut faktor Boltzmannya pada temperatur T. Energi kinetik rata-rata suatu partikel bermassa m diberikan oleh rumus integral
\langle H_{\mathrm{kin}} \rangle = 
\langle \tfrac{1}{2} m v^{2} \rangle = 
\int _{0}^{\infty} \tfrac{1}{2} m v^{2}\  f(v)\  dv = \tfrac{3}{2} k_{\rm B} T,
sebagaimana yang dinyatakan oleh teorema ekuipartisi. Hasil yang sama juga dapat didapatkan dengan mereratakan energi partikel menggunakan probabilitas penemuan partikel pada keadaan energi kuantum tertentu.

Energi Kuadratik dan Fungsi Partisi
Lebih umumnya energi total H hanya sebagai suku kuadratik sederhana Ax2, dengan A adalah tetapan konstan, memiliki energi rata-raata ½kBT dalam kesetimbangan termal. Dalam hal ini teorema ekuipartisi dapat diturunkan dari fungsi partisi Z(β), dengan β = 1/(kBT) adalah temperatur invers kanonis. Pengintegralan terhadap variabel x menghasilkan, teorema ekuipartisi menyatakan bahwa segala derajat kebebasan x yang muncul dalam :
Z_{x} = \int_{-\infty}^{\infty} dx \ e^{-\beta A x^{2}} = \sqrt{\frac{\pi}{\beta A}},
dalam rumus untuk Z. Energi rata-rata yang diasosiasikan dengan faktor ini adalah :
\langle H_{x} \rangle = - \frac{\partial \log Z_{x}}{\partial \beta} = \frac{1}{2\beta} = \frac{1}{2} k_{\rm B} T
sebagaimana yang dinyatakan oleh teorema ekuipartisi.

Pembuktian Umum
Penurunan umum teorema ekuipartisi dapat ditemukan dalam banyak buku teks mekanika statistika, baik untuk ensembel mikrokanonis dan untuk ensembel kanonis. Keduanya melibatkan pererataan terhadap ruang fase sistem yang merupakan manifold simplektik. Untuk menjelaskan penurunan-penurunan ini, notasi berikut digunakan. Pertama, ruang fase dideskripsikan menurut koordinat posisi rampatan qj bersamaan dengan momentum konjugatnya pj. Kuantitas qj secara penuh mendeskripsikan konfigurasi sistem, manakala kuantitas (qj,pj) secara bersama mendeskripsikan secara penuh keadaannya.
Kedua, volume infinitesimal :
d\Gamma = \prod_i  dq_i \, dp_i \,
dari ruang fase diperkenalan dan digunakan untuk mendefinisikan volume Γ(E, ΔE) porsi bagian ruang fase di mana energi H sistem berada di antara dua limit, E dan E + ΔE:
\Gamma (E, \Delta E) = \int_{H \in \left[E, E+\Delta E \right]} d\Gamma .
Dalam ekspresi ini, ΔE diasumsikan sangat kecil, ΔE << E. Dengan cara yang sama, Σ(E) didefinisikan sebagai volume total ryang fase di mana energinya lebih kecil daripada E:
\Sigma (E) = \int_{H < E} d\Gamma.\,
Karena ΔE sangat kecil, pengintegralan berikut ini memenuhi kesamaan
\int_{H \in \left[ E, E+\Delta E \right]} \ldots d\Gamma  = \Delta E \frac{\partial}{\partial E} \int_{H < E} \ldots d\Gamma,
di mana elips-elips tersebut mewakili integran (yang diintegralkan). Dari sini, Γ proposional terhadap ΔE
\Gamma = \Delta E \ \frac{\partial \Sigma}{\partial E} = \Delta E \ \rho(E),
dengan ρ(E) adalah rapatan keadaan. Berdasarkan definisi mekanika statistik, entropi S sama dengan kB log Σ(E), dan temperatur T didefinisikan sebagai berikut :
\frac{1}{T} = \frac{\partial S}{\partial E} = k_{\rm B} \frac{\partial \log \Sigma}{\partial E} = k_{\rm B} \frac{1}{\Sigma}\,\frac{\partial \Sigma}{\partial E} .

Ensembel Kanonis
Dalam ensembel kanonis, sistem berada dalam kesetimbangan termal dengan penangas kalor tak terhingga bertemperatur T (dalam kelvin). Probabilitas tiap-tiap keadaan dalam ruang fase sistem diberikan oleh faktor Boltzmann dikalikan dengan faktor normalisasi \mathcal{N}, yang dipilih sedemikiannya penjumlahan probabilitas-probabilitasnya adalah satu.
\mathcal{N} \int e^{-\beta H(p, q)} d\Gamma = 1,
di mana β = 1/kBT. Pengintegralan parsial untuk suatu variabel ruang fase xk (yang dapat berupa qk ataupun pk) antara dua limit a dan b menghasilkan persamaan :
\mathcal{N} \int  \left[ e^{-\beta H(p, q)} x_{k} \right]_{x_{k}=a}^{x_{k}=b} d\Gamma_{k}+ 
\mathcal{N} \int  e^{-\beta H(p, q)} x_{k} \beta \frac{\partial H}{\partial x_{k}} d\Gamma = 1,
di mana dΓk = dΓ/dxk, yakni, pengintegralan pertamanya tidak dilakukan terhadap xk. Suku pertamanya biasanya nol, baik dikarenakan xk adalah nol pada limit ataupun energinya menuju tak terhingga pada limit-limit tersebut. Dalam hal itu teorema ekuipartisi untuk ensembel kanonisnya mengikuti,
\mathcal{N} \int e^{-\beta H(p, q)} x_{k} \frac{\partial H}{\partial x_{k}} \,d\Gamma = 
\Bigl\langle x_{k} \frac{\partial H}{\partial x_{k}} \Bigr\rangle = \frac{1}{\beta} = k_{B} T.
Disini, simbol pererataan \langle \ldots \rangle adalah rata-rata ensembel yang dilakukan terhadap ensembel kanonis.

Ensembel Mikrokanonis
Dalam ensembel mikrokanonis, sistem terisolasi dari lingkungan luar, atau paling tidak, terhubung sangat sedikit dari dunia luar. Sehingga, energi totalnya secara efektif konstan; lebih cermatnya, kita mengatakan bahwa energi total H terperangkap antara E dan E+dE. Untuk suatu energi E dan penyimpangannya dE, terdapat suatu daerah ruang fase Γ di mana sistem tersebut memiliki energi tersebut, dan probabilitas tiap-tiap keadaan dalam daerah ruang fase adalah sama, menurut definisi ensembel mikrokanonis. Berdasarkan definisi ini, rata-rata ekuipartisi variabel ruang fase xm (yang dapat berupa qk ataupun pk) dan xn diberikan oleh rumus ;
\begin{align}
\Bigl\langle x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \Bigr \rangle &=
\frac{1}{\Gamma}   \, \int_{H \in \left[ E, E+\Delta E \right]}  x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \,d\Gamma\\
&=\frac{\Delta E}{\Gamma}\, \frac{\partial}{\partial E} \int_{H < E}  x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \,d\Gamma\\
&= \frac{1}{\rho} \,\frac{\partial}{\partial E} \int_{H < E}  x_{m} \frac{\partial \left( H - E \right)}{\partial x_{n}} \,d\Gamma,
\end{align}
di mana kesamaan terakhir dibenarkan karena E adalah konstan sehingga ia tidak tergantung pada xn. Pengintegralan parsialnya akan menghasilkan relasi :
\begin{align}
\int_{H < E}  x_{m} \frac{\partial ( H - E )}{\partial x_{n}} \,d\Gamma &= 
\int_{H < E}  \frac{\partial}{\partial x_{n}} \bigl( x_{m} ( H - E ) \bigr) \,d\Gamma - 
\int_{H < E}  \delta_{mn} ( H - E ) d\Gamma\\
&=  \delta_{mn} \int_{H < E} ( E - H ) \,d\Gamma,
\end{align}
karena suku pertama pada sisi kanan adalah nol.
Substitusi hasil ini kepada persamaan sebelumnya akan menghasilkan :
\Bigl\langle x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \Bigr\rangle = 
\delta_{mn} \frac{1}{\rho} \, \frac{\partial}{\partial E} \int_{H < E}\left( E - H \right)\,d\Gamma  = 
\delta_{mn}  \frac{1}{\rho}  \, \int_{H < E} \,d\Gamma = 
\delta_{mn}  \frac{\Sigma}{\rho}.

Karena  \rho = \frac{\partial \Sigma}{\partial E} , maka :

\Bigl\langle x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \Bigr\rangle = 
\delta_{mn} \Bigl(\frac{1}{\Sigma} \frac{\partial \Sigma}{\partial E}\Bigr)^{-1}  = 
\delta_{mn} \Bigl(\frac{\partial \log \Sigma} {\partial E}\Bigr)^{-1} = \delta_{mn} k_{B} T.

Sehingga kita telah menurunkan perumusam umum teorema ekuipartisi :
\!
\Bigl\langle x_{m} \frac{\partial H}{\partial x_{n}} \Bigr\rangle = \delta_{mn} k_{B} T,




BAB III
PENUTUP

3.1   KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terorema ekipartisi energi membahas tentang derajat kebebasan suatu partikel atau molekul, dimana derjata kebebasan itu adalah cara bebas yang dapat dialkukan oleh partikel untuk menyerap energi. Dan pergerakan molekul juga ada 3 macam berdasarkan jumlah atom yaitu translasi, rotasi dan vibrasi. Pergerakan molekul ini juga ternyata bergantung pad suhu, apabila suhu makin tinggi, maka pergerakan molekul atau partikelnya pun akan semakin acak dan banyak arah, oleh sebab itu pada molekul diatomik bersuhu tinggi memiliki derajat kebebasan yang tinggi yaitu 7. Energi dalam gas ideal juga merupan hasil kali N (jumlah partikel) dengan energi kinetik molekul.
















3.2   DAFTAR PUSTAKA

1.   Pauli, W .1973. Pauli Lectures on Physics: Volume 4. Statistical Mechanics. MIT Press. hlm. 27–40.
2.   Callen, HB. 1985. Thermodynamics and an Introduction to Thermostatistics. New York : John Wiley and Sons. hlm. 375–377
3.   Raymond A.Serway, John W. Jewett ,Jr .2010. Fisika-Untuk Sains dan Teknik. Jakarta :   Salemba Teknika
4.   Bon, Foster.2004. Terpadau Fisika SMA. Jakarta : Erlangga
5.   Young and Freedman. 2001. Fisika Universitas Edisi Kesepuluh.  Jakarta : Erlangga

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev

About Me

Followers

▲Top▲